BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Banyak hal yang dapat dimasukkan dalam materi pengantar studi
islam, namun dalam pengertian ini materi pengantar studi islam memiliki
kesamaan dengan ajaran islam yaitu akidah, syari’ah dan tasawuf.
Akidah merupankan ilmu yang membicarakan perkara-perkara yang
berkaitan dengan keimanan dan keyakinan terhadap Allah swt dan sifat-sifat
kesempurnaan-Nya.
Syari’ah merupakan jalan yang di tetapkan oleh Tuhan dimana manusia
harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir ke hendak-Nya .
Sedangkan, tasawuf merupakan ilmu untuk mengetahui bagaimana cara
menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun dhahir dan batin, untuk
memperoleh kebahagiaan yang abadi.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
yang di maksud akidah ?
2.
Apa yang
di maksud syari’ah ?
3.
Apa
yang di maksud tasawuf ?
C. TUJUAN MASALAH
1.
Mengetahui
pengertian akidah dan ruang lingkupnya
2.
Mengetahui
pengertian syari’ah
3.
Mengetahui
pengertian tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian
akidah, syari’ah dan tasawuf
1.
Pengertian akidah
Secara etimologi, akidah berasal
dari bahasa arab yang berasal dari kata al-‘aqdu
(العقد
) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu (التوثيقا ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (الاحكام) yang berarti mengkokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (بقوة الربط) yang berarti memikat dengan kuat.
Sedangkan menurut terminologi,
akidah adalah perkara yang wajib di benarkan oleh hati dan jiwa menjadi tentram
karenanya,sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh,yang tidak
tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Jadi, akidah adalah keimanan yang
teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban,
bertauhid[1]
dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya,
Kitab-kitab-Nya, hari akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh
apa-apa yang menjadi ijma’, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik
secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salaf as-Shalih.[2]
Ruang
Lingkup Pembahasan Akidah
Menurut
Hasan al-Banna sistematika ruang lingkup pembahasan akidah adalah:
1.
Ilahiyat
yaitupembahasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan ilahi seprti wujud Allah dan sifat-sifat
Allah,dan lain-lain.
2.
Nubuwat
yaitu pembahasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rosul,termasuk pembahasan tentang
Kitab-Kitab Allah,mujizat,dan lain sebagainya.
3.
Ruhaniyah yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
alam metafisik seperti Malaikat,Jin,Iblis,Syaitan,Roh,dan lain sebagainya.
4.
Sami’yyat
yaitu pembahasan tentang segala
sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sami’(dalil naqli berupa Al-Qur’an dan
sunnah)seperti alam barzakh,akhirat,azab kubur,tanda-tanda kiamat,surga,neraka
dan lainnya.
Tauhid itu ada empat macam, seperti yang tersebut di
atas dan tidak ada istilah Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena
istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila yang dimaksud dengan Hakimiyah
itu adalah kekuasaan Allah, maka hal ini sudah masuk ke dalam kandungan Tauhid
Rububiyah. Apabila yang dikehendaki dengan hal ini adalah pelaksanaan hukum
Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke dalam Tauhid Uluhiyah, karena
hukum itu milik Allah dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada
Allah semata. Lihatlah firman Allah pada surat Yusuf ayat 40.[3]
Walupun masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang perselisihan
dikalanganumat islam, tetapi Allah telah membukakan hati para hamba-Nya yang sberiman,
yaitu para Salaf Shalih yang mereka itu senantiasa menempuh jalan kebenaran
dalam pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha’ dan qadar adalah termasuk
rububiyah Allah atas makhluk-Nya.
Iman kepada qadar adalah termasuk
tauhid ar-rububiyah. Oleh karena itu Imam Ahmad berkata: "Qadar adalah kekuasaan
Allah". Karena, tak syak lagi,Qadar (takdir) termasuk qudrat dan
kekuasaanNya yang menyeluruh. Di samping itu, qadar adalah rahasia Allah yang-
tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis
pada Lauh Mahfudz dan tak
ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik atau buruk
yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya,
kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar.[4]
2. Pengertian syari’ah
Secara etimologis kata Syari’ah berakar
kata syara’a yang berarti “sesuatu yang dibuka secara lebar kepadanya”. Dari sinilah
terbentuk kata syari’ah yang berarti “sumber air minum”. Kata ini
kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan yang lurus yang harus
diikuti.
Secara terminologis,
Muhammad Ali al-Sayis mengartikan syari’ah dengan jalan “yang lurus”.
Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi: “Hukum Syara’ mengenai perbuatan
manusia yang dihasilkan dari dalil-dalil terperinci”. Syekh Mahmud Syaltut
mengartikan syari’ah sebagai hukum- hukum dan tata aturan yang disyariatkan
oleh Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti.
Menurut Faruq Nabhan,
secara istilah, syari’ah berarti “ segala sesuatu yang disyariatkan Allah
kepada hamba-hamba-Nya. Sedangkan menurut Manna al-Qaththan, syari’ah berarti
segala ketentuan yang disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya, baik menyangkut
aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalat.
Dari beberapa
pengertian yang diungkapkan oleh para ahli dapat dirumuskan bahwa syari’ah
adalah aturan-aturan yang berkenaan dengan prilaku manusia, baik yang berkenaan
dengan hukum pokok maupun hukum cabang yang bersumber dari al-Quran dan hadis
Nabi saw.
Namun demikian, perlu
difahami bahwa meskipun syari’at Islam itu tidak berubah, tetapi dapat
diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi, sebab petunjuk-petunjuk yang
dibawakannya dapat membawa manusia kepada kebahagiaan yang abadi.
3. Pengertian Tasawuf
Tasawuf didefinisikan sebagai ajaran yang
mementingkan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia, penamaannya belum
dikenal pada abad permulaan. Tasawuf baru dikenal sebagai sebuah nama atau
sebagai disiplin yang melembaga pada sekitar abad ke dua hijriah[5]. Namun
demikian secara faktual nilai-nilai tasawuf itu sendiri adalah sesuatu yang
diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya. Oleh karena itu dalam
pandangan as-Sarraj, penyebutan istilah tasawuf sebenarnya sudah dikenal di
kalangan sahabat Rasulullah. as-Sarraj membantah pendapat yang menyebutkan
bahwa istilah tasawuf pertama kali dimunculkan oleh para ulama Baghdad. Beliau
mengatakan bahwa fenomena perjumpaan para sahabat Rasulullah dengan Rasulullah
sendiri serta keimanan mereka kepada Rasulullah adalah tingkatan tertinggi
dalam derajat al-Ahwâl.
Tentang sejarah timbul nama tasawuf, ada
berbagai pendapat membicarakan hal tersebut. Satu pendapat mengatakan bahwa
asal penamaan tasawuf disandarkan kepada Ahl ash-Shuffah; yaitu sebuah
komunitas sahabat Rasulullah dari kaum Muhajirin yang selalu berdiam diri di
masjid Nabawi. Sifat-sifat para sahabat dari Ahl ash-Shuffah ini sangat khas,
seperti sifat zuhud, mementingkan orang lain, tidak banyak bergaul dengan
khlayak, tidak terkait dengan kesenangan duniawi, dan hanya mementingkan
akhirat[6]
Pendapat lain mengatakan bahwa penamaan tasawuf
timbul dari sebuah hadits. Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah keluar
rumah dengan warna muka yang lain dari biasanya, tiba-tiba beliau bersabda:
ذَهَبَ
صَفْوُ الدّنيَا وَبَقِيَ الكَدَرُ، فَالْمَوْتُ اليَوْمَ تُحْفَةٌ لِكُلّ
مُسْلِمٍ (رَوَاهُ الدّارَقُطْنيّ)
“Kemurnian dunia telah pergi, dan hanya tersisa kekeruhan, maka
kematian hari ini adalah harapan berharga bagi seorang muslim” (HR.
ad-Daraquthni)
Dalam hadits ini disebutkan kata “shafw
ad-dunyâ”. Kata “shafw” dimungkinkan sebagai akar
dari kata “tasawuf”. Oleh karenanya di kemudian hari, di antara landasan pokok
dalam ajaran tasawuf adalah nilai-nilai yang terkandung dalam hadits ini, yaitu
dari sabda Rasulullah bahwa kematian adalah “pembendaharaan” yang
ditunggu-tunggu dan paling berharga bagi seorang muslim. Dari pemahaman hadits
ini kemudian dikenal istilah tasawuf[7]
Pendapat lain mengatakan bahwa nama tasawuf
diambil dari akar kata “ash-Shûf” yang berarti kain wol
yang kasar. Penamaan ini diambil dari kebiasaan kaum sufi yang selalu memakai
kain wol kasar karena sikap zuhud mereka.[8]Pendapat
lain mengatakan tasawuf di ambil dari akar kata “Shafâ” yang berarti suci murni.
Pendapat lainnya mengatakan berasal dari akar akar kata “ash-Shaff”
yang berarti barisan. Pendapat terakhir ini secara filosofis untuk
mengungkapkan bahwa komunitas sufi seakan berada di barisan terdepan diantara
orang-orang Islam dalam kesucian hati dan dalam melakukan segala perintah Allah
dan Rasul-Nya.[9]
Al-Hâfizh Abu
Nu’aim dalam kitab Hilayah al-Auliyâ’ mengatakan bahwa
kemungkinan pengambilan nama tasawuf secara bahasa setidaknya berasal dari salah
satu dari empat perkara. Walau demikian empat perkara ini tidak hanya sebagai
pengertian bahasa semata, namun juga secara hekekat merupakan kandungan dari
nilai-nilai tasawuf itu sendiri. Artinya bahwa empat perkara ini termasuk di
antara sifat-sifat yang dipegang teguh oleh kaum sufi, ialah sebagai berikut:
1. kata
tasawuf dapat berasal dari ash-Shûfânah yang berati tanaman
rerumputan atau senama tasawuf dari ash-Shûfânah adalah benar. Ini
kerena kaum sufi tidak pernah berharap kepada sesama makhluk. Di antara yang
membenarkan pendapat ini adalah pernyataan sahabat Sa’ad ibn Abi Waqqash,”[10]
2. kata tasawuf dapat berasal dari ash-Shûfah
yang berarti kabilah. Pengambilan nama tasawuf dari kata ini juga
memiliki dasar yang cukup kuat. Karena kaum sufi adalah sebagai kaum yang
memiliki identitas tersendiri yang khas di antara berbagai kaum lainnya. Salah
satu ciri khasnya ialah bahwa seluruh waktu yang mereka miliki dipergunakan
hanya untuk ibadah kepada Allah, . Sifat kaum sufi semacam ini seperti tersirat
dalam sebuah hadits ketika Rasulullah berkata kepada sahabat Ali ibn Abi
Thalib:
يَا عَلِيّ إذَا تَقَرَّبَ النّاسُ إلَى
خَالِقِهِمْ فِي أبْوَابِ البِرّ فَتَقَرَّبْ إلَيْهِ بأنْوَاعِ العَقْلِ
تَسْبِقهُمْ بالدّرَجَاتِ وَالزّلفَى عِنْدَ النّاسِ فِي الدّنيَا وَعِنْدَ اللهِ
فِي الآخِرَةِ (رواه الحافظ أبو نعيم[11]
“Wahai Ali jika
orang-orang mendekatkan diri kepada Pencipta mereka dengan berbagai kebaikan,
maka mendekatkan dirilah engkau kepada-Nya dengan mempergunakan akal
(berfikir). Dengan begitu engkau akan mendahului mereka dalam meraih derajat
dan “kedekatan” (kemuliaan) di antara sesama manusia di dunia dan kepada Allah
di akhirat”. (HR. Abu Nu’aim).
3. kata tasawuf dapat diambil dari Shûf
al-Qafâ, yang secara bahasa berarti bulu atau rambut bagian
belakang kepala. Secara filosifis hal ini berarti menggambarkan bahwa kaum sufi
adalah orang-orang yang hanya berserah diri kepada Allah. Ketundukan,
kepasrahan, dan keyakinan mereka kepada Allah tidak dapat tergoyahkan oleh
situasi dan kondisi apapun.
4. Diambil dari kata ash-Shûf dalam pengertian bulu
domba. Hal ini karena umumnya kaum sufi memakai pakaian wol kasar yang berasal
dari bulu domba. Keadaan ini menunjukkan sikap zuhud mereka. Karena kain wol
yang berasal dari bulu domba karena tidak membutuhkan biaya. Di samping itu penggunanya sebagai orang yang memiliki ciri cirih sifat merendahan diri,
menghinakan diri, tawadlu, qana’ah dan sifat-sifat khas lainnya.
Definisi tasawuf menurut para Ulama’ dan
ajaran-ajarannya
a. Imam
al-Junaid al-Baghdadi, pimpinan kaum sufi (Sayyid ath-Thâ-ifah ash-Shûfiyyah),
berkata: “Tasawuf ialah keluar dari setiap akhlak yang tercela dan masuk kepada
setiap akhlak yang mulia”.[12]Pada
kesempatan lain beliau berkata: “Kita tidak mengambil tasawuf dengan banyak
berbicara (al-Qâl
Wa al-Qîl). Kita mengambil tasawuf dengan banyak lapar (puasa), bangun
malam, dan meninggalkan segala kenikmatan-kenikmatan”[13].Imam
al-Junaid al-Baghdadi berkata:“Tasawuf adalah sebuah nama yang mengandung
sepuluh pokok ajaran :
1. menyedikitkan
benda-benda duniawi dan tidak memperbanyaknya.
2. berserah
diri kepada Allah.
3. cinta
kepada ketaatan dengan mengerjakan segala hal yang disunnahkan.
4. sabar
dari kehilangan dunia dengan tidak mengeluh dan meminta-minta.
5. memilih-milih
sesuatu ketika hendak mengambil atau mengerjakannya.
6. Hanya
sibuk dengan Allah dari segala apapun.
7. banyak
melakukan dzikir khafyy.
8. ikhlas
dalam segala perbuatan hanya karena Allah saja.
9. keyakinan
yang kuat.
10. tenang
dengan Allah ketika kedatangan rasa gelisah dan dalam keterasingan”.[14]
b. Imam
al-Qusyairi “Tasawuf adalah membersihkan kotoran dalam jiwa hingga kotoran
tersebut tidak kembali lagi. Dan apa bila telah “bersih”selalu jaga kebersihan
tersebut dengan selalu mengingat Allah. Sementara itu perkara apapun yang
terjadi di sekitar tidak memberikan pengaruh.[15]
c. Abu al-Hasan
al-Farghani bertanya kepada Abu Bakr asy-Syibli:” Tasawuf adalah berada di
jalan Rasulullah, meletakan dunia di belakang punggungnya, dan menundukkan hawa
nafsunya dengan kegetiran-kegetiran”. Definisi lain tasawuf adalah memurnikan
hati hanya bagi Allah Yang mengetahui segala hal yang gaib”. definisi lain mengagungkan segala perintah
Allah dan bersikap lemah lembut kepada semua hamba Allah”.
d. Imam
Ma’ruf al-Karkhi berkata: “Tasawuf adalah berusaha meraih hakekat dan
meninggalkan segala apa yang berada di tangan para makhluk”.[16]
e. Imam Abu
Ali ad-Daqqaq“tasawuf adalah sebuah jalan yang tidak dapat dilewati kecuali
oleh orang-orang yang telah dibersihkan ruh mereka oleh Allah dari
kotoran-kotoran”.[17]
f. Imam Abu
al-Hasan an-Nauri “Tasawuf adalah meninggalkan segala keinginan hawa nafsu”.[18]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Akidah adalah
ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan, atau
sebuah keyakinan yang kokoh kepada Allah swt. Dimana tidak ada keraguan di
dalam dirinya . Yakin bahwa Allah itu Esa/satu, dan tidak berbuat kafir atau
menyekutukan Allah.
syari’ah adalah
aturan-aturan yang berkenaan dengan prilaku manusia, baik yang berkenaan dengan
hukum pokok maupun hukum cabang yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi
saw.
Tasawuf adalah
menghabiskan setiap waktu dari kehidupannya dalam beribadah kepada Allah;
dengan melaksanakan segala kewajiban-kewajiban, menjauhi segala
larangan-langan-Nya dan memperbanyak perbuatan-perbuatan yang sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Tauhid Rububiyah, Uluhiyyah, dan Asma’ dan Shifat Allah.
Abdul karim, Nashir bin . 1419.
Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah.cet.II .
Abdul Qadir Jawas, Yazid bin. 2004. Aqidah Ahlu sunnah Wal
jama’ah. Bogor:Pustaka At Taqwa.
Shalih Al-Utsaimin, Syekh Muhammad. 1999. Qadha dan Qadhar.Darul
Haq.
Ibn al-Jauzi. Talbîs
as-Sarraj. al-Luma
Ibid.
Kalabadzi. at-Ta’arruf…,
HR. Abu Nu’aim. Hilyah. juz 1
as-Subki. Thabaqât. juz 2
Ibn al-Jauzi. Talbîs dengan sanad
dari Abu Hatim ath-Thabari dari al-Junaid.
al-Qusyairi. ar-Risâlah.
[1] Tauhid
Rububiyah, Uluhiyyah, dan Asma’ dan Shifat Allah.
[2]Nashir bin Abdul karim. Buhuuts fii ‘Aqiidah
Ahlis Sunnah wal Jama’ah .1419. hlm. 11-12. cet.II
[3] Yazid bin
Abdul Qadir Jawas.2004 Aqidah Ahlu sunnah Wal jama’ah. Bogor:Pustaka At
Taqwa.
[4] Syekh Muhammad
Shalih Al-Utsaimin. 1999. Qadha dan Qadhar.Darul Haq.
[5] Ibn al-Jauzi. Talbîs. hlm.169
[6] as-Sarraj,. al-Luma’.
hlm. 42
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Kalabadzi. at-Ta’arruf. hlm. 31
[10] HR. Abu
Nu’aim. Hilyah. Juz 1. hlm. 18
[11] Ibid
[12] as-Subki. Thabaqât.
juz 2. hlm. 271 dan Ibn
al-Jauzi. Talbîs. hlm.
169 dengan sanad
dari Abu Hatim ath-Thabari dari al-Junaid. Lihat pula Abu Nu’aim. Hilyah
al-Auliyâ’ dengan sanad bersambung hingga al-Junaid. juz
1. hlm 22
[13] al-Qusyairi. ar-Risâlah.
hlm. 430
[14] Abu Nu’aim. Hilyah. juz 1. hlm 22
[16] al-Qusyairi. ar-Risâlah.
hlm 280
[17] Ibid.
hlm 283